Dolby Atmos, seiring dengan reputasinya sebagai standar audio 3D yang mendominasi industri film dan musik, kini menghadapi tantangan serius dari Google dan Samsung. Kedua raksasa teknologi ini bersiap untuk meluncurkan format audio 3D baru yang mereka namakan “Immersive Audio Model and Formats” (IAMF).
Format ini dirancang sebagai alternatif yang bersifat open-source dan bebas royalti terhadap Dolby Atmos yang telah lama dikenal dengan biaya lisensi yang tinggi.
Tantangan Finansial dan Kontrol
Google dan Samsung, sebagai pemilik sebagian besar pangsa pasar smartphone non-Apple, berkolaborasi dalam menciptakan IAMF dengan tujuan tidak hanya menghadirkan standar audio 3D baru tetapi juga mengurangi ketergantungan pada lisensi Dolby Atmos.
Dolby Labs, pencipta Dolby Atmos, dikenal mengenakan biaya lisensi kepada perusahaan yang ingin membuat produk atau layanan yang kompatibel dengan Dolby Atmos, termasuk TV, pemutar media streaming, soundbar, dan bahkan smartphone.
Sementara IAMF berjanji untuk menjadi alternatif yang lebih terjangkau, adopsi massal tetap menjadi tantangan, mengingat kepopuleran merek Dolby Atmos yang sulit ditandingi.
IAMF: Gratis, tapi Tidak Tanpa Biaya
IAMF muncul sebagai format audio yang menawarkan fleksibilitas selevel Dolby Atmos kepada para pencipta audio, termasuk adaptasi bawaan untuk berbagai perangkat pemutaran, mulai dari headphone hingga sistem home theater lengkap.
Meskipun IAMF bersifat open-source dan bebas royalti, ada biaya terkait dengan implementasinya. Sebelum studio film, label musik, dan perusahaan distribusi konten seperti Netflix setuju untuk berinvestasi dalam konten IAMF, mereka kemungkinan besar ingin melihat bukti permintaan yang signifikan.
Brand Awareness dan Perang Adoptasi
Dolby Atmos telah mencapai penerimaan massal, tidak hanya karena kualitas audio yang luar biasa tetapi juga karena brand awareness yang kuat. Dengan munculnya IAMF, pertarungan adopsi format kembali muncul. Meskipun IAMF bersifat bebas royalti, adopsi massal tetap memerlukan dukungan industri hiburan yang besar. Tanpa brand awareness yang kuat seperti Dolby Atmos, IAMF mungkin kesulitan mencapai tujuannya.
Google, dengan kendali atas Android, Google TV, dan perangkat Nest yang didukung oleh Google Assistant, dapat memberikan dorongan yang signifikan untuk adopsi IAMF. Namun, seperti yang terjadi dengan HDR10+ yang didukung oleh Samsung, meskipun bersifat bebas royalti dan didukung sepenuhnya oleh perusahaan tersebut, adopsi dari penyedia layanan streaming besar seperti Netflix dan Disney+ tetap menjadi tantangan.
Kesimpulan:
Meskipun IAMF menjanjikan alternatif yang menarik untuk Dolby Atmos, tantangan terbesarnya mungkin terletak pada kesadaran merek dan upaya adopsi format yang diperlukan untuk menciptakan ekosistem konten yang sebanding.
Format ini harus bersaing dengan kekuatan besar di industri hiburan dan meyakinkan konsumen bahwa itu adalah pilihan yang setidaknya sebanding dengan Dolby Atmos. Apakah IAMF dapat menggoyang dominasi Dolby Atmos atau menjadi format alternatif yang kurang terkenal, hanya waktu yang akan memberi jawaban.