Perbedaan Hukum Objektif dan Hukum Subjektif Beserta Contohnya di Era Modern

Hukum menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Baik dalam kehidupan pribadi ataupun dalam skala masyarakat yang lebih besar, hukum selalu ada dan memberikan konsekuensi yang berdampak pada kehidupan kita sehari-hari. Namun, mungkin banyak dari kita yang tidak tahu perbedaan antara hukum objektif dan hukum subjektif. Keduanya adalah konsep yang berbeda dalam hukum, dan hal ini penting untuk dipahami untuk menghindari kesalahpahaman dalam menghadapi berbagai masalah hukum.

Hukum objektif adalah hukum yang sesuai dengan kenyataan objektif. Artinya, hukum ini tidak tergantung pada keperluan atau pandangan pribadi seseorang. Contohnya, “Memiliki SIM adalah syarat untuk dapat mengendarai mobil di Indonesia” atau “Tidak diperbolehkan membunuh orang lain”. Kedua aturan ini berlaku untuk semua orang tanpa terkecuali. Dalam hukum objektif, ada keadilan dan kesamaan di antara semua orang karena hukum tidak bisa dipengaruhi oleh apa yang diinginkan atau dipikirkan oleh seseorang.

Di sisi lain, hukum subjektif terkait dengan kepentingan atau pandangan pribadi seseorang. Contohnya, hak milik atas suatu benda atau hak asuh atas anak-anak. Hal ini dapat berbeda-beda antara individu satu dan lainnya, tergantung pada perspektif dan kebutuhan pribadi. Dalam hukum subjektif, kesamaan tidak selalu dapat diterapkan karena hak-hak pribadi dapat berbeda-beda. Karenanya, hukum subjektif lebih terkait dengan pengalaman pribadi masing-masing individu dan tidak harus sama dengan orang lain.

Hukum Objektif dalam Hukum Pidana

Hukum pidana mengatur sanksi pidana yang bisa diterima oleh seseorang apabila melakukan tindak pidana. Hukum pidana mempunyai dua prinsip yaitu “nullum crimen nulla poena sine lege” yang berarti “tidak ada kejahatan dan tidak ada hukuman tanpa undang-undang”. Prinsip ini menuntut bahwa segala bentuk pidana harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas dengan tegas mengatur tindak pidana apa yang dilarang dan sanksi apa yang diberikan. Prinsip kedua adalah “in dubio pro reo” yang berarti “dalam keraguan, diuntungkan terdakwa”. Prinsip ini mengatur bahwa jika ada keraguan dalam pembuktian suatu tindak pidana, maka harus diuntungkan terdakwa.

Ada dua jenis hukum dalam hukum pidana yaitu hukum objektif dan hukum subjektif. Hukum objektif adalah hukum yang mengatur tindakan kejahatan itu sendiri, sedangkan hukum subjektif adalah hukum yang mengatur pemilik hak atau pelaku kejahatan.

  • Dalam hukum pidana, hukum objektif adalah hukum yang paling penting. Hukum objektif mengatur tindakan yang dilarang oleh undang-undang, misalnya tindak pidana pembunuhan, pencurian, perampokan, dan sebagainya.
  • Hukum objektif juga mengatur sanksi yang harus diterapkan bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana, tanpa memperhatikan status sosial, gender, atau latar belakang pelaku kejahatan itu sendiri.
  • Contoh hukum objektif dalam hukum pidana adalah Pasal 338 – 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang tindak pidana pembunuhan, sanksi yang dikenakan, dan unsur-unsur pembentuk tindak pidana tersebut.

Hukum objektif dalam hukum pidana sangat penting untuk menjaga keadilan, kepastian hukum, dan mencegah terjadinya tindak pidana. Hukum objektif memberikan penegasan bahwa siapa saja yang melakukan tindak pidana harus bertanggung jawab dan menerima sanksi yang adil tanpa kecuali.

Hukum subjektif dalam hukum perdata

Hukum subjektif dan hukum objektif menjadi topik yang penting dalam ilmu hukum. Secara sederhana, hukum objektif adalah peraturan yang berlaku untuk semua orang secara umum, sedangkan hukum subjektif adalah hak individu yang didasarkan pada hukum objektif.

Dalam hukum perdata, hukum subjektif merupakan hak yang dimiliki oleh individu dalam hubungan hukum perdata. Hak ini meliputi hak-hak atas barang atau jasa yang dimiliki oleh individu dengan orang lain atau perusahaan. Dalam hubungan hukum perdata, hukum subjektif menjadi penting karena berkaitan dengan kontrak, ganti rugi, dan hak atas kepemilikan barang atau jasa.

  • Contoh hukum subjektif dalam hukum perdata

Contoh dari hukum subjektif dalam hukum perdata adalah hak atas kepemilikan mobil dan rumah. Dalam hubungan hukum perdata, pemilik mobil atau rumah memiliki hak subjektif atas barang-barang tersebut. Hak subjektif tersebut dapat diperoleh melalui pembelian atau pemberian hadiah dari pihak lain. Selain hak atas kepemilikan barang, hukum subjektif juga mencakup hak atas penggunaan barang dan hak atas uang yang terutang.

Selain itu, hukum subjektif dalam hukum perdata juga berkaitan dengan kompensasi. Jika seseorang terkena kerugian karena melanggar perjanjian, orang tersebut berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pihak yang melanggar perjanjian tersebut. Hal ini memungkinkan individu untuk memperoleh kerugian yang diakibatkan oleh tindakan orang lain.

Dalam hukum perdata, hukum subjektif menjadi penting untuk memastikan bahwa hak individu dilindungi dengan baik dan terdapat keseimbangan antara hak-hak individu dan hak-hak perusahaan atau pihak lainnya. Oleh karena itu, pahami dengan baik tentang perbedaan hukum subjektif dan hukum objektif agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam membuat suatu perjanjian atau kontrak.

Hukum subjektif dalam hukum perdata Keterangan
Contoh Hak atas kepemilikan barang dan jasa
Manfaat Memberikan perlindungan terhadap hak individu dalam hubungan hukum perdata
Perhatian Pahami dengan baik perbedaan hukum subjektif dan hukum objektif

Contoh penggunaan hukum objektif dalam pengadilan

Dalam pengadilan, hukum objektif sering digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para hakim dalam memutuskan suatu perkara. Berikut ini adalah beberapa contoh penggunaan hukum objektif dalam pengadilan:

  • Hukum pidana yang mendasarkan pada jenis tindak pidana dan bukan pada pelaku kejahatan. Misalnya, seseorang yang melakukan pembunuhan akan dihukum sesuai dengan aturan dan ancaman pidana yang berlaku untuk pembunuhan, tanpa memperdulikan siapa pelakunya.
  • Penggunaan dokumen resmi, seperti akta kelahiran atau surat perjanjian, sebagai bukti dalam sebuah perkara hukum. Dokumen-dokumen ini dianggap sebagai bukti yang obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
  • Penilaian terhadap kualitas bukti dalam suatu perkara, yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Misalnya, hakim akan menilai barang bukti berdasarkan apakah itu dapat dipertanggungjawabkan, logis, dan konsisten dengan fakta-fakta yang ada.

Selain itu, hukum objektif juga sering dipakai dalam penentuan sanksi hukum yang diterapkan kepada pelaku kejahatan. Hukuman atau sanksi ini biasanya telah ditetapkan dalam berbagai peraturan, dan ditentukan berdasarkan jenis kejahatan dan tingkat keparahannya.

Jenis Kejahatan Sanksi Hukum
Pembunuhan Hukuman mati atau penjara seumur hidup
Pencurian dengan kekerasan Penjara
Penipuan Denda atau penjara

Dalam prakteknya, penggunaan hukum objektif dalam pengadilan sering kali menjadi sumber perselisihan dan perdebatan, terutama ketika terdapat faktor-faktor subjektif yang mempengaruhi putusan hakim. Namun, penggunaan hukum objektif tetap menjadi landasan yang kuat dalam sistem hukum yang objektif dan adil.

Perbedaan antara hukum objektif dan hukum subjektif pada kasus korupsi

Ketika membicarakan hukum dalam konteks kasus korupsi, perlu diperhatikan adanya perbedaan antara hukum objektif dan hukum subjektif. Berikut penjelasannya:

  • Hukum objektif adalah hukum yang berlaku sama untuk semua orang, tanpa memandang latar belakang atau kepentingan pribadi. Dalam konteks kasus korupsi, hukum objektif diterapkan untuk menentukan apakah seseorang melakukan tindakan korupsi atau tidak. Contoh hukum objektif dalam kasus korupsi adalah Undang-Undang Tipikor yang memberikan pengertian dan sanksi bagi pelaku korupsi tanpa memandang latar belakang atau posisi mereka.
  • Hukum subjektif adalah hukum yang terkait dengan kepentingan pribadi atau individu tertentu. Dalam konteks kasus korupsi, hukum subjektif meliputi pertimbangan hakim dalam memutuskan sanksi yang akan diberikan terhadap pelaku korupsi. Misalnya, jika pelaku korupsi adalah seorang pejabat yang memiliki pengaruh dan jaringan yang luas, maka hakim dapat mempertimbangkan hal tersebut dalam memberikan sanksi kepada pelaku.

Secara umum, hukum objektif lebih diutamakan dalam kasus korupsi karena sifat kasus ini yang merugikan banyak orang dan melanggar hukum yang telah ditetapkan. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pertimbangan subjektif, terutama jika kasus tersebut melibatkan berbagai faktor yang harus dipertimbangkan secara saksama.

Dalam prakteknya, terkadang penerapan hukum objektif dan subjektif dalam kasus korupsi dapat bertolak belakang dengan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, penting bagi para aktor hukum, terutama pejabat hukum dan hakim, untuk menjaga independensi dan integritas dalam menjalankan tugas mereka. Karena akhirnya, penegakan hukum yang baik dan adil dapat menciptakan kepastian hukum serta memberikan efek jera bagi pelaku tindak korupsi.

Kasus korupsi yang terkait dengan hukum objektif dan subjektif

Berikut adalah beberapa kasus korupsi yang melibatkan penerapan hukum objektif dan subjektif:

Kasus Hukum objektif Hukum subjektif
Kasus e-KTP Menentukan pelaku korupsi dan sanksi yang akan diberikan berdasarkan fakta hukum. Pertimbangan keterlibatan dan posisi terdakwa dalam kasus korupsi.
Kasus BLBI Memberikan sanksi bagi pihak yang terbukti melakukan tindak korupsi dalam pemulihan aset negara dari BLBI. Pertimbangan kepentingan atau trauma korban yang merugikan dalam kasus ini.
Kasus suap pengaturan pertandingan sepakbola Menjatuhkan hukuman bagi para pelaku korupsi berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Pertimbangan keterlibatan para pelaku korupsi dalam dunia sepakbola dan dampaknya terhadap industri sepakbola nasional.

Dalam kasus-kasus tersebut, terlihat adanya perbedaan penerapan hukum objektif dan subjektif. Namun, yang terpenting adalah penegakan hukum yang adil dan mengarah pada rasa keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Dampak hukum subjektif pada penyelesaian sengketa bisnis

Hukum objektif dan hukum subjektif merupakan dua konsep yang penting dalam dunia hukum. Hukum objektif merupakan hukum yang berlaku umum dan berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali. Sedangkan hukum subjektif merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah perusahaan.

Dalam dunia bisnis, pemahaman tentang hukum subjektif memiliki dampak yang signifikan pada penyelesaian sengketa bisnis. Berikut ini adalah beberapa dampak dari hukum subjektif pada penyelesaian sengketa bisnis:

  • Keberhasilan penyelesaian sengketa bergantung pada subjektivitas individu – Dalam penyelesaian sengketa bisnis, hukum subjektif akan memengaruhi pendekatan yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa. Setiap individu akan terdampak secara berbeda oleh hukum subjektif ini, sehingga wajar jika ada perbedaan pendapat dan pendekatan dalam penyelesaian sengketa.
  • Pendekatan yang lebih fokus pada hak-hak individu atau perusahaan – Dalam hal sengketa bisnis, hukum subjektif memungkinkan individu atau perusahaan untuk lebih fokus pada hak mereka yang dijamin oleh hukum tersebut. Sebagai contoh, sebuah perusahaan kesulitan membayar hutang ke pemasoknya, perusahaan tersebut dapat memanfaatkan hak hukum subjektif untuk membela diri dan menyelesaikan sengketa ini.
  • Batasan dalam penyelesaian sengketa bisnis – Ada beberapa kasus di mana hukum subjektif dapat menjadi batasan dalam penyelesaian sengketa bisnis. Misalnya, ada pihak yang mengajukan tuntutan dalam sengketa bisnis, tetapi hukum subjektif yang dimilikinya ternyata tidak kuat atau tidak diakui oleh undang-undang. Hal ini dapat membuat penyelesaian sengketa menjadi lebih sulit dan jalan terbaiknya adalah mencari penyelesaian alternatif.

Dalam penyelesaian sengketa bisnis, penting bagi individu atau perusahaan untuk memahami perbedaan antara hukum objektif dan hukum subjektif agar dapat merancang strategi yang tepat dalam menyelesaikan sengketa. Dengan memanfaatkan hak hukum subjektif dan memperhatikan dampak yang dimilikinya, individu atau perusahaan akan lebih mudah menemukan solusi dari sengketa tersebut.

Tipe Sengketa Bisnis Dampak Hukum Subjektif
Sengketa Piutang Perusahaan yang memiliki hak hukum subjektif yang kuat akan mudah untuk memenangkan kasus ini.
Sengketa Kontrak Hukum subjektif akan berdampak pada penafsiran isi kontrak dan memengaruhi strategi dalam menyelesaikan sengketa.
Sengketa Bisnis Internasional Perbedaan hukum subjektif antara negara dapat menjadi hambatan dalam menyelesaikan sengketa bisnis secara internasional.

Dalam menghadapi sengketa bisnis, penting untuk mempertimbangkan dampak hukum subjektif pada penyelesaian sengketa agar dapat merancang strategi yang tepat dan menemukan solusi yang optimal.

Terima Kasih Telah Membaca Perbedaan Hukum Objektif dan Hukum Subjektif Beserta Contohnya

Demikianlah penjelasan mengenai perbedaan hukum objektif dan hukum subjektif beserta contohnya. Semoga artikel ini dapat memberikan wawasan yang bermanfaat bagi pembaca. Jangan lupa untuk terus mengunjungi website ini untuk membaca artikel-artikel menarik lainnya. Sampai bertemu kembali di kesempatan yang lain!